Bagi sebagai orang merek BMW atau Bayerische Motoren Werke identik
sebagai pabrikan pembuat mobil mewah. Namun, siapa sangka, antara tahun
1923 � 1973 atau rentang waktu 50 tahun, BMW pernah memproduksi sepeda
motor. Jenis pertamanya adalah R-32 (1923 � 1926) dan terakhir adalah
R75/5 (1969 � 1973).
Di awal kehadiarannya, BMW adalah motor yang yang dipikirkan matang-matang sebelum lahir. Saat itu dunia tengah dilanda krisis akibat perang dunia. Dibutuhkan kendaraan yang kuat dan berteknologi tinggi tapi bisa dibeli masyarakat dengan harga murah. Bahkan, tidak main-main, desainnya harus bisa menaklukan hutan belantara, ladang salju, hingga melibas lintasan balap motor sekaligus.
Menurut Iyan Tjandradinata, pehobi sekaligus Humas BMW Club Bandung atau BCB, perkumpulan pecinta motor BMW di Bandung, motor ini mulai masuk ke Indonesia sekitar tahun 1950-an. Saat itu, ribuan motor BMW masuk ke Indonesia dengan dua cara. Pertama lewat jalur pemerintah. Jalur ini hanya mengijinkan BMW dimiliki perwira tentara saat itu.
Jalur kedua melalui swasta dengan membangun tempat pameran dan pemesanan. Ada dua tempat di Bandung, yaitu NV Spemotri, yang saat ini menjadi Bank Niaga di Dago dan CV Dennbarr yang berada di Simpang Lima Bandung. Paling banyak masuk Indonesia satu silinder 249 cc, yaitu R-25, R26, dan R/27.
�Dahulu, BMW menjadi semacam kendaraan resmi sebagai pengiring atau pembuka jalan bagi acara kenegaraan.
Salah satunya ketika mengawal masuknya bendera merah putih ke Bandung tanggal 28 September 1961,� katanya sembari menujukan foto tua yang masih disimpannya hingga kini.
Oleh karena itu, bersama para pecinta BMW yang tergabung dalam BMW Club Bandung (BCB), Iyan bertekad mempertahankannya keberadaan BMW. Bukan tidak mungkin, di varian BMW yang masih ada dan tersisa jutru banyak ditemukan di Indonesia. Ia memberikan contoh BMW varian R-51/2 500 cc keluaran 1952 miliknya. Motor ini diyakini hanya ada dua di Indonesia. Lengkap dengan side car-nya, ia yakin tidak mudah menemukan kembarannya, bahkan di Jerman sekalipun. Tawaran dipindahtangankan sudah banyak berdatangan. Namun, bukan semata-mata uang tapi kepuasan menjaganya tetap lestari mengasapi jalanan adalah hal utama.
�Motor ini sudah menemani saya ke berbagai daerah di Indonesia. Baik itu Jawa, Kalimantan, hingga Sulawesi. Kenikmatannya tiada duanya,� ujarnya.
Hal yang sama dikatakan Yanto, pemilik varian langka R-25/2 tahun 1952 atau yang dikenal dengan sebutan BMW Kwaci karena tangkinya mirip buah kwaci. Menurutnya, BMW miliknya memang berasal dari Jerman. Namun, belum tentu motor serupa, saat ini mudah ditemukan di tempat asalnya. Ia berani menjamin, mulai dari ban sampai spion saya datangkan dari Jerman. Bahkan ia harus mengorbankan 4 motor BMW tipe lain untuk diambil bagian tertentu.
�Menunggangi motor penuh sejarah ini saja adalah suatu kebanggaan. Saya rela berkorban apa dan berapa saja asal motor ini terlihat seperti pertama kali keluar pabrik. Saya ingin anak cucu bangga menjadi pemilik varian BMW langka yang masih terawat dengan baik,� katanya.
Mengenai suku cadang, menurut Aan Tjandradinata, sesepuh BCB, bukan masalah. Meski BCB belum lagi aktif, kerjasama dengan pabrikan suku cadang BMW di Jerman masih dilakukan. Hasilnya, suku cadang asli buatan Jerman selalu bisa didapatkan.
Ke depannya, baik Iyan, Aan, dan Yanto, berharap agar keberadaan motor ini bisa terus dipertahankan. Di tengah teknologi motor yang selalu diperbaharui, mereka sadar tidak bisa berharap banyak orang akan tetap menggunakan BMW. Namun, bila diminta bermimpi, mereka mengatakan hanya ingin tetap melihat BMW tetap bisa melaju di jalan, bersaing dengan saudaranya yang lebih muda.
�Mengendarai BMW bagi saya tidak sekedar seperti mengendalikan motor biasa. Saya terpancing ikut menjaganya tetap abadi,� kata Aan.(CHE)
Di awal kehadiarannya, BMW adalah motor yang yang dipikirkan matang-matang sebelum lahir. Saat itu dunia tengah dilanda krisis akibat perang dunia. Dibutuhkan kendaraan yang kuat dan berteknologi tinggi tapi bisa dibeli masyarakat dengan harga murah. Bahkan, tidak main-main, desainnya harus bisa menaklukan hutan belantara, ladang salju, hingga melibas lintasan balap motor sekaligus.
Menurut Iyan Tjandradinata, pehobi sekaligus Humas BMW Club Bandung atau BCB, perkumpulan pecinta motor BMW di Bandung, motor ini mulai masuk ke Indonesia sekitar tahun 1950-an. Saat itu, ribuan motor BMW masuk ke Indonesia dengan dua cara. Pertama lewat jalur pemerintah. Jalur ini hanya mengijinkan BMW dimiliki perwira tentara saat itu.
Jalur kedua melalui swasta dengan membangun tempat pameran dan pemesanan. Ada dua tempat di Bandung, yaitu NV Spemotri, yang saat ini menjadi Bank Niaga di Dago dan CV Dennbarr yang berada di Simpang Lima Bandung. Paling banyak masuk Indonesia satu silinder 249 cc, yaitu R-25, R26, dan R/27.
�Dahulu, BMW menjadi semacam kendaraan resmi sebagai pengiring atau pembuka jalan bagi acara kenegaraan.
Salah satunya ketika mengawal masuknya bendera merah putih ke Bandung tanggal 28 September 1961,� katanya sembari menujukan foto tua yang masih disimpannya hingga kini.
Oleh karena itu, bersama para pecinta BMW yang tergabung dalam BMW Club Bandung (BCB), Iyan bertekad mempertahankannya keberadaan BMW. Bukan tidak mungkin, di varian BMW yang masih ada dan tersisa jutru banyak ditemukan di Indonesia. Ia memberikan contoh BMW varian R-51/2 500 cc keluaran 1952 miliknya. Motor ini diyakini hanya ada dua di Indonesia. Lengkap dengan side car-nya, ia yakin tidak mudah menemukan kembarannya, bahkan di Jerman sekalipun. Tawaran dipindahtangankan sudah banyak berdatangan. Namun, bukan semata-mata uang tapi kepuasan menjaganya tetap lestari mengasapi jalanan adalah hal utama.
�Motor ini sudah menemani saya ke berbagai daerah di Indonesia. Baik itu Jawa, Kalimantan, hingga Sulawesi. Kenikmatannya tiada duanya,� ujarnya.
Hal yang sama dikatakan Yanto, pemilik varian langka R-25/2 tahun 1952 atau yang dikenal dengan sebutan BMW Kwaci karena tangkinya mirip buah kwaci. Menurutnya, BMW miliknya memang berasal dari Jerman. Namun, belum tentu motor serupa, saat ini mudah ditemukan di tempat asalnya. Ia berani menjamin, mulai dari ban sampai spion saya datangkan dari Jerman. Bahkan ia harus mengorbankan 4 motor BMW tipe lain untuk diambil bagian tertentu.
�Menunggangi motor penuh sejarah ini saja adalah suatu kebanggaan. Saya rela berkorban apa dan berapa saja asal motor ini terlihat seperti pertama kali keluar pabrik. Saya ingin anak cucu bangga menjadi pemilik varian BMW langka yang masih terawat dengan baik,� katanya.
Mengenai suku cadang, menurut Aan Tjandradinata, sesepuh BCB, bukan masalah. Meski BCB belum lagi aktif, kerjasama dengan pabrikan suku cadang BMW di Jerman masih dilakukan. Hasilnya, suku cadang asli buatan Jerman selalu bisa didapatkan.
Ke depannya, baik Iyan, Aan, dan Yanto, berharap agar keberadaan motor ini bisa terus dipertahankan. Di tengah teknologi motor yang selalu diperbaharui, mereka sadar tidak bisa berharap banyak orang akan tetap menggunakan BMW. Namun, bila diminta bermimpi, mereka mengatakan hanya ingin tetap melihat BMW tetap bisa melaju di jalan, bersaing dengan saudaranya yang lebih muda.
�Mengendarai BMW bagi saya tidak sekedar seperti mengendalikan motor biasa. Saya terpancing ikut menjaganya tetap abadi,� kata Aan.(CHE)
0 comments:
Post a Comment